Rabu, 10 Juli 2013

Kultum Ramdhan: Keutamaan Ramadhan

Segala puji bagi Allah, teriring doa dan keselamatan semoga terlimpah atas nabi dan rasul termulia: Muhammad SAW, juga  atas keluarga dan para sahabat, serta kepada semua yang mengikuti mereka dalam kebenaran sampai hari kiamat nanti.

Ramadhan Kariim, Marhaban Ya Ramadhan …  Bulan Ramadhan telah benar-benar datang menjelang. Kaum muslimin kembali bergembira dengan datangnya bulan yang mulia ini. Setelah sebelas bulan kita mengarungi kehidupan yang penuh warna-warni, maka inilah momentum yang tepat bagi kita semua untuk membersihkan diri dari segala dosa yang melekat tanpa kita sadari. 

Kaum Muslimin yang berbahagia …
Sungguh kita semua bergembira sepenuh hati dengan datangnya Ramadhan yang penuh berkah. Rasa gembira ini adalah cerminan ketakwaaan yang ada dalam hati kita, karena sejatinya bulan Ramadhan adalah salah satu dari syiar dalam agama kita, yang harus senantiasa kita hormati dan agungkan.  Allah SWT berfirman :

ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ
“ Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS Al-Hajj 32)

Karenanya, sungguh mengherankan jika ada sebagian kaum muslimin yang justru merasa berat dengan hadirnya Ramadhan, merasa bahwa Ramadhan mengekang segala kebebasan dan kemerdekaannya. Atau ada pula yang merasa biasa-biasa saja, merasa bahwa Ramadhan hanyalah rutinitas belaka, yang datang silih berganti sebagaimana bulan-bulan lainnya. Sikap seperti ini, tentu saja bukan cerminan ketakwaan yang ada dalam hati. Melainkan timbul dari hati yang sakit atau jiwa yang lekat dengan maksiat. Tentu saja kita berlindung dari sikap yang demikian …Naudzu billah tsuma naudzu billah

Ma’asyirol mukminin rahimakumullah 
Kegembiraan kita tentu saja bukan sebagaimana kegembiraan anak-anak kecil dengan hadirnya Ramadhan. Karena mereka juga bergembira dengan datangnya bulan mulia ini, karena mempunyai waktu banyak untuk bermain bersama teman, bahkan –mungkin saja- gembira karena adanya petasan, dan janji pakaian baru di hari lebaran. Kegembiraan yang semacam ini tentu saja melekat pada diri anak-anak semata, tapi bukan kegembiraan yang kita maksudkan dalam menyambut Ramadhan yang mulia. Begitu pula kegembiraan kita bukanlah kegembiraan anak –anak yang beranjak remaja. Dimana mereka bergembira dengan hadirnya Ramadhan, karena mempunyai banyak kesempatan untuk jalan-jalan menghabiskan waktu bersama teman atau bahkan pasangannya. Banyak kita saksikan kesucian Ramadhan ternoda, dengan muda-mudi yang justru menggunakan waktu-waktu ibadah untuk saling PDKT satu sama lainnya. Naudzu billah tsumma naudzu billah ..

Kaum muslimin yang dirahmati Allah Subhanahu wa ta’ala …
Sesungguhnya kita bergembira dengan hadirnya Ramadhan, karena bulan ini membawa banyak keutamaan bagi kita semua. Jika kita merenunginya satu persatu lebih mendalam, maka tentulah kegembiraan itu akan kian bertambah lengkap dan sempurna. Marilah kita melihat beberapa keutamaan Ramadhan yang menjadikan alasan kita bersuka cita menyambutnya …

Pertama :  Karena Ramadhan bulan penggugur dosa kita
Rasulullah SAW bersabda dengan lisannya yang mulia :
الصَّلَوَاتُ الخَمْسُ ، وَالجُمُعَةُ إِلَى الجُمُعَةِ ، وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ ، مُكَفِّراتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتُنِبَتِ الكَبَائِرُ
“Shalat lima waktu, shalat jum’at sampai ke shalat jum’at berikutnya, puasa Ramadhan ke puasa Ramadhan berikutnya adalah sebagai penghapus (dosa) apabila perbuatan dosa besar ditinggalkan”. (HR. Muslim) 

Hadirnya Ramadhan sungguh menjadikan momentum bagi kita untuk membersihkan diri dari segala noda dosa dan kemaksiatan yang tidak kita sadari. Ibaratnya pakaian yang sehari-hari kita pakai, meskipun tidak terkena lumpur atau kotoran yang jelas, tetap saja kita harus mencucinya karena ada debu yang melekat erat.
Begitupun diri kita, sekalipun kita tidak menjalani dosa besar, namun tentu saja tanpa kita sadari terkadang ada hal yang kita lakukan menyebabkan noda kecil dalam hati kita, bisa jadi melalui lisan, pandangan, atau bahkan anggota badan kita. Astaghfirullahal adziim … Hasbunallah wa nikmal wakiil . 
Inilah yang membuat kita bersuka cita karena mendapat kesempatan untuk menyucikan diri dari kita. Maka marilah kita menjalankan ibadah di dalamnya dengan penuh iman dan pengharapan, serta memperbanyak istighfar, agar benar-benar Ramadhan ini menjadi bulan pengampunan.  Bahkan diriwayatkan pula, bagaimana malaikat Jibril as melaknat mereka yang  mendapati Ramadhan, tetapi tidak diampuni dosan-dosanya. Semoga ini bisa menjadi cermin bagi kita semua.

Kaum muslimin yang berbahagia 
Hal kedua yang membuat kita berbahagia adalah, karena Ramadhan merupakan bulan musim kebaikan, dimana kita semua menjalankan ibadah dengan penuh semangat, berbondong-bondong dan sungguh terasa lebih ringan. Inilah yang dijelaskan dalam hadist Rasulullah SAW, tentang Ramadhan sebagai musim kebaikan yang menakjubkan :

تُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَتُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ النَّارِ ، وَتُصَفَّدُ فِيهِ الشَّيَاطِينُ ، وَيُنَادِي فِيهِ مُنَادٍ كُلَّ لَيْلَةٍ : يَا بَاغِيَ الْخَيْرِ هَلُمَّ ، وَيَا بَاغِيَ الشَّرِّ أَقْصِرْ ، حَتَّى يَنْقَضِيَ رَمَضَانُ.
“(Bulan dimana) dibuka pintu-pintu surga, ditutup pintu-pintu neraka, syetan-syetan dibelenggu. Dan berserulah malaikat : wahai pencari kebaikan, sambutlah. Wahai pencari kejahatan, berhentilah” (demikian) sampai berakhirnya ramadhan” ( HR Ahmad) 

Inilah yang menjadikan kita bergembira, karena kebaikan begitu mudah dijalankan. Bersama sama kita lihat di masjid, mushola, bahkan di rumah-rumah kita, bagaimana Ramadhan menyinari kita dengan banyak amal dan kegiatan yang tak putus dan henti-hentinya. Dari mulai pagi hari hingga malam menjelang, bergantian kita melaksanakan amal kebaikan yang begitu beragam. Subhanallah walhamdlillah …..
 
Kaum muslimin yang berbahagia 
Hal ketiga yang membuat kita berbahagia adalah, karena Ramadhan adalah bulan dimana ukhuwah kita meningkat. Bayangkan saja, bagaimana hari-hari ini dipenuhi dengan banyak pertemuan antar jamaah masjid, dari mulai sholat tarawih berjamaah, tadarusan selepas tarawih, hingga sholat shubuh berjamaah …. Kaum muslimin berkumpul setiap harinya dan merasakan keindahan ukhuwah yang luar biasa. Bahkan bukan hanya di luar rumah, di dalam rumah pun kita menemukan keharmonisan yang bertambah saat Ramadhan tiba. Banyak kesempatan untuk berkumpul antar anggota keluarga, khususnya saat buka puasa dan sahur menjelang. Ini semua tanpa kita sadari, sungguh membuat hati kita lebih tenteram dan nyaman. Lebih siap untuk menjalani semua aktifitas dan tantangan dalam kehidupan ini.

Kaum muslimin yang berbahagia …
Yang terakhir, tentu saja kita bergembira dalam bulan Ramadhan ini karena Allah SWT banyak menjanjikan pahala kemuliaan bagi kita semua melalui amal-amal yang ada di dalamnya. Setiap amal mempunyai keutamaannya masing-masing. Khususnya kita bergembira karena di dalam Ramadhan ada satu malam yang mulia, yaitu lailatul qadar yang bernilai melebihi seribu bulan. Ini menjadi kesempatan yang sungguh kita impikan, untuk mendapatinya dengan memperbanyak ibadah pada malam tersebut. 

Akhirnya, marilah kegembiraan ini kita jadikan sebagai pemicu awal untuk lebih bersemangat dalam mengarungi samudera keberkahan Ramadhan dengan ragam ibadahnya yang mulia. Kita menjalaninya satu persatu dengan ringan penuh suka cita, agar semua yang dijanjikan bisa kita dapatkan dalam Ramadhan ini. Semoga Allah SWT memudahkan …..
Baca Selengkapnya - Kultum Ramdhan: Keutamaan Ramadhan

Senin, 08 Juli 2013

Menyikapi Perselisihan Dalam Penentuan Awal Dan Akhir Ramadhan


Di negeri yang kita cintai ini, hampir setiap tahunnya datangnya bulan suci Ramadhan dibarengi dengan adanya perselisihan diantara kaum muslimin mengenai penentuan awal dan juga akhir Ramadhan. Sebagian orang menggunakan metode ru’yatul hilal dan sebagian lagi lebih mempercayai hisab falaki atau perhitungan astronomis. Debat dan diskusi hampir selalu bergulir setiap tahunnya, bahkan lebih dari itu, sebagian orang menjadikan masalah ini sebagai patokan wala’ wal bara’, masing-masing mengunggulkan golongan dan ormasnya. Sebagiannya lagi menjadikan hal ini sebagai bahan pertengkaran dan caci-maki. Bagaimana sebenarnya sikap yang benar?

Mengenal Ijma’

Sebelumnya membahas inti permasalahan, sudah semestinya kita membahas sedikit tenttang ijma’, karena memiliki kaitan erat dalam persoalan ini. Al Ijma’ (الإجماع) secara bahasa artinya kesepakatan. Sedangkan secara istilah,
اتفاق مجتهدي عصرٍ من العصور من أمة محمد – صلى الله عليه وسلم – بعد وفاته على أمر ديني
“Ijma’ adalah kesepakatan para ulama mujtahid dari beberapa generasi umat Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam setelah wafatnya beliau dalam masalah agama” (lihat Ma’alim Ushul Fiqh, 156).
Para ulama sepakat bahwa ijma’ adalah hujjah (dalil ) dalam syari’at yang wajib diikuti dan diamalkan. Diantara dalil yang mendasari bahwa ijma’ adalah dalil diantaranya,
  • firman Allah Ta’ala:
    وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
    Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali” (QS. An Nisa: 115)
    Inti pendalilan dari ayat ini adalah pada kalimat وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ (dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin). Ibnu Katsir menyatakan: “sifat ini dengan sifat yang pertama (menentang rasul) saling berkonsekuensi. Namun yang termasuk dalam sifat ini terkadang bentuknya berupa penyelisihan terhadap nash syar’i atau terkadang berupa penyelisihan terhadap hal yang sudah disepakati oleh umat yang mengikut jalan Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam. Jika telah diketahui bahwa mereka bersepakat dalam suatu hal maka dalam kesepakatan itu ada al ishmah, yaitu kemustahilan dari kesalahan. Ini pemuliaan terhadap mereka dan pengagungan terhadap Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Hadits-hadits yang berbicara masalah ini banyak sekali…” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/412-413).
  • firman Allah Ta’ala:
    كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بالله
    Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah” (QS. Al Imran: 110).
    Allah Ta’ala menyifati umat Muhammad sebagai umat yang menyuruh pada semua kebaikan dan mengingkari semua kemungkaran. Jika umat ini bersepakat untuk menyatakan suatu kesesatan maka Allah tidak akan menyifati demikian. Sehingga apa-apa yang disepakati oleh umat ini adalah sebuah kebenaran. Selain itu umat ini juga tidak akan mungkin bersepakat dalam kesesatan (Ma’alim Ushul Fiqh, 161).
  • Sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
    عليكمْ بالجماعةِ، وإياكم والفرقةَ، فإنَّ الشيطانَ مع الواحدِ وهو من الاثنينِ أبعدُ . من أراد بحبوحةَ الجنةِ فلْيلزمِ الجماعةَ
    Berpeganglah pada Al Jama’ah dan tinggalkan kekelompokan. Karena setan itu bersama orang yang bersendirian dan setan akan berada lebih jauh jika orang tersebut berdua. Barangsiapa yang menginginkan bagian tengah surga, maka berpeganglah pada Al Jama’ah” (HR. Tirmidzi no.2165, ia berkata: “Hasan shahih gharib dengan sanad ini”)
    Hadits ini memerintahkan kita untuk berpegang pada Al Jama’ah. Dan diantara makna Al Jama’ah adalah kaum muslimin jika sepakat pada suatu perkara. Akan dirinci nanti.
  • Sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
    إن أمتي لا تجتمع على ضلالة
    Sesungguhnya umatku tidak akan bersatu dalam kesesatan” (HR. At Tirmidzi 2166, ia berkata: ‘hasan gharib’).
    Hadits ini jelas menunjukkan bahwa kesepakatan umat adalah kebenaran.
Perihal ketetapan ijma’ sebagai dalil yang dipakai dalam syariat, cukup gamblang dan banyak dijelaskan di buku-buku ushul fiqih semua madzhab. Maka ijma adalah dalil, dan seorang mukmin tidak boleh menyelisihi dalil. Bahkan jika merujuk pada surat An Nisa ayat 115, keras sekali ancaman bagi orang yang menyelisihi ijma. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
وإذا ثبت إجماع الأمة على حكم من الأحكام لم يكن لأحد أن يخرج عن إجماعهم
“Jika telah diketahui secara valid bahwa umat ini menyepakati hukum suatu perkara, maka tidak diperkenankan bagi siapa pun untuk keluar dari ijma tersebut” (Majmu’ Fatawa 10/20, dinukil dari Ma’alim Ushul Fiqh, 173)
Lalu apakah boleh ulama di zaman sekarang menyelisihi ijma para ulama terdahulu yang sudah disepakati? Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan menjawab: “hal-hal yang sudah terdapat ijma para ulama terdahulu tidak boleh diselisihi bahkan wajib berdalil dengannya. Adapun masalah-masalah yang belum ada ijma sebelumnya maka ulama zaman sekarang dapat ber-ijtihad dalam hal tersebut. Jika mereka bersepakat, maka kita bisa katakan bahwa ulama zaman sekarang telah sepakat dalam hal ini dan itu” (sumber lihat di sini).

Para Ulama Ijma’ Mengenai Penentuan Awal Dan Akhir Ramadhan

Syariat telah menetapkan bahwa untuk menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan itu dengan 2 cara: ru’yatul hilal atau menggenapkan Sya’ban 30 hari. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
صوموا لرؤيَتِهِ وأفطِروا لرؤيتِهِ ، فإنْ غبِّيَ عليكم فأكملوا عدةَ شعبانَ ثلاثينَ
Berpuasalah karena melihatnya (hilal), berbukalah karena melihatnya (hilal), jika penglihatan kalian terhalang maka sempurnakan bulan Sya’ban jadi 30 hari” (HR. Bukhari 1909, Muslim 1081)
Dan para ulama telah ber-ijma’ mengenai hal ini. Ibnu Hajar Al Asqalani dalam kitab beliau Fathul Baari (4/123) mengatakan:
وقال ابن الصباغ أما بالحساب فلا يلزمه بلا خلاف بين أصحابنا قلت ونقل بن المنذر قبله الإجماع على ذلك فقال في الأشراف صوم يوم الثلاثين من شعبان إذا لم ير الهلال مع الصحو لا يجب بإجماع الأمة
“Ibnu As Sabbagh berkata: ‘Adapun metode hisab, tidak ada ulama mazhab kami (Maliki) yang membolehkannya tanpa adanya perselisihan’. Sebelum beliau, juga telah dinukil dari Ibnul Mundzir dalam Al Asyraf: ‘Puasa di hari ketiga puluh bulan Sya’ban tidaklah wajib jika hilal belum terlihat ketika cuaca cerah, menurut ijma para ulama‘”
Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa (25/132) berkata:
فإنا نعلم بالاضطرار من دين الإسلام أن العمل في رؤية هلال الصوم أو الحج أو العدة أو الإبلاء أو غير ذلك من الأحكام المعلقة بالهلال بخبر الحاسب أنه يرى أو لا يرى لا يجوز . والنصوص المستفيضة عن النبي صلى الله عليه وسلم بذلك كثيرة . وقد أجمع المسلمون عليه . ولا يعرف فيه خلاف قديم أصلاً ولا خلاف حديث ؛ إلا أن بعض المتأخرين من المتفقهة الحادثين بعد المائة الثالثة زعم أنه إذا غم الهلال جاز للحاسب أن يعمل في حق نفسه بالحساب فإن كان الحساب دل على الرؤية صام وإلا فلا . وهذا القول وإن كان مقيداً بالإغمام ومختصاً بالحاسب فهو شاذ مسبوق بالإجماع على خلافه . فأما اتباع ذلك في الصحو أو تعليق عموم الحكم العام به فما قاله مسلم ا.هـ
“Kita semua, secara gamblang sudah mengetahui bersama bahwa dalam Islam, penentuan awal puasa, haji, iddah, batas bulan, atau hal lain yang berkaitan dengan hilal, jika digunakan metode hisab dalam kondisi hilal terlihat maupun tidak, hukumnya adalah haram. Banyak nash dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang mendasari hal ini. Para ulama pun telah bersepakat akan hal ini. Tidak ada perselisihan diantara para ulama terdahulu maupun di masa sesudahnya, kecuali sebagian ulama fiqih mutaakhirin setelah tahun 300H yang menganggap bolehnya menggunakan hisab jika hilal tidak nampak, untuk keperluan diri sendiri. Menurut mereka, jika sekiranya perhitungan hisab sesuai dengan ru’yah maka mereka puasa, jika tidak maka tidak. Pendapat ini, jika memang hanya digunakan ketika hilal tidak nampak dan hanya untuk diri sendiri, ini tetaplah merupakan pendapat nyeleneh yang tidak teranggap karena sudah adanya ijma’. Adapun menggunakan perhitungan hisab secara mutlak, padahal cuaca cerah, dan digunakan untuk masyarakat secara umum, tidak ada seorang ulama pun yang berpendapat demikian”.
Ibnu Hajar dalam Fathul Baari (4/127) juga mengatakan:
وقد ذهب قوم إلى الرجوع إلى أهل التسيير في ذلك وهم الروافض، ونقل عن بعض الفقهاء موافقتهم. قال الباجي: وإجماع السلف الصالح حجة عليهم ا.هـ
“Sebagian orang ada yang merujuk pada para ahlut tas-yir (penjelajah) dalam masalah ini, yaitu kaum syi’ah rafidhah. Sebagian ahli fiqih pun ada yang membeo kepada mereka. Al Baaji berkata: ‘Ijma salafus shalih sudah cukup sebagai bantahan bagi mereka’”.
Dan masih banyak nukilan ijma’ mengenai hal ini. Menunjukkan bahwa masalah ini bukanlah masalah yang diperselisihkan para ulama, atau dengan kata lain bukan masalah khilafiyah diantara para ulama. Dengan demikian sebagaimana sudah dijelaskan di atas mengenai wajibnya berpegang pada ijma’, hendaknya setiap muslim tidak menyelisihi ijma’ para ulama dalam masalah penentuan awal dan akhir Ramadhan.

Perselisihan Itu Banyak, Solusinya Kembali Kepada Dalil

Ketahuilah bahwa khilafiyah (perselisihan) dalam masalah agama itu banyak, tidak hanya masalah penentuan awal Ramadhan saja. Dari segi siapa yang berselisih, khilafiyah dapat kita kelompokkan menjadi 2:
  1. Khilafiyah diantara ulama.
  2. Khilafiyah diantara orang awwam (umat secara umum)
Sehingga kita sering dapati masalah-masalah yang para ulama tidak berselisih tentangnya, namun orang-orang awam memperselisihkannya. Demikian juga masalah-masalah yang sudah terdapat dalil yang terang benderang, namun ternyata di tengah masyarakat menjadi perselisihan juga.
Dengan demikian masalah khilafiyah itu menjadi sangat banyak, karena bagi orang awam hampir tidak ada masalah yang lepas dari perselisihan. Bahkan perkara-perkara yang sudah diterima secara luas kebenarannya pun masih ada saja segelintir orang yang memperselisihkan. Contohnya mengenai wajibnya shalat dan wajibnya memakai jilbab, ada saja sebagian orang awam yang memperselisihkannya. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
أوصيكم بتقوى الله والسمع والطاعة وإن عبدا حبشيا ، فإنه من يعش منكم بعدي فسيرى اختلافا كثيرا ، فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء المهديين الراشدين تمسكوا بها ، وعضوا عليها بًالنواجذ ، وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة ، وكل بدعة ضلالة
Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah, juga agar mendengar dan taat kepada pemimpin walaupun ia budak Habasyah. Karena barangsiapa yang hidup sepeninggalku nanti akan melihat banyak perselisihan. Maka hendaknya kalian berpegang pada sunnah-ku dan sunnah Khulafa Ar Rasyidin yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Peganglah dengan erat-erat, gigitlah dengan gigi geraham. Dan hendaknya kalian menjauhi perkara yang diada-adakan, karena yang diada-adakan dalam agama itu bid’ah dan semua bid’ah itu sesat” (HR. Abu Daud, 4607, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah 2735)
Ternyata perselisihan yang banyak ini sudah dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, dan beliau sudah memberikan solusinya. Allah Ta’ala juga berfiman:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An Nisa: 59)
Jika demikian solusi yang ditawarkan oleh Allah dan Rasul-Nya ketika terjadi perselisihan yaitu :
  1. Kembali kepada Al Qur’an
  2. Kembali kepada sunnah Nabi melalui hadits-haditsnya,
  3. Kembali kepada pemahaman para Khulafa Ar Rasyidin dan juga para sahabat Nabi
  4. Meninggalkan perkara bid’ah
Maka, terkait perselisihan kaum muslimin dalam masalah penentuan awal dan akhir Ramadhan, solusinya adalah kembali kepada dalil-dalil syar’i sesuai apa yang dipahami oleh para sahabat Nabi dan disepakati oleh para ulama Islam yang memerintahkan untuk menggunakan ru’yatul hilal dalam penentuan awal dan akhir ramadhan. Jadi, bukan kembali kepada keyakinan masing-masing, bukan kembali pada pendapat ormas, pendapat partai atau pendapat tokoh agama. Setiap mukmin hendaknya tasliim, menerima dengan lapang dada dalil-dalil yang telah ditetapkan syariat dalam masalah ini serta menerima dengan lapang dada ijma-nya para ulama Islam.

Mentoleransi Semua Pendapat, Demi Persatuan?

Sebagian orang mengajak kaum muslimin untuk tidak mengindahkan perselisihan yang ada dan lebih mengedepankan persatuan secara fisik. Dengan kata lain, mereka menginginkan apapun keyakinan dan penyimpangan yang ada di tengah kaum muslimin, entah benar atau salah, tidak perlu di gugat dan tidak perlu dipermasalahkan demi terciptanya persatuan secara fisik. Tentu bukan demikian persatuan yang diajarkan oleh Islam. Bahkan demikianlah persatuan ala Yahudi. Allah Ta’ala menceritakan tentang kaum Yahudi:
بَأْسُهُمْ بَيْنَهُمْ شَدِيدٌ تَحْسَبُهُمْ جَمِيعًا وَقُلُوبُهُمْ شَتَّى ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْقِلُونَ
Permusuhan antara sesama mereka adalah sangat hebat. Kamu kira mereka itu bersatu sedang hati mereka berpecah belah.  Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tiada mengerti” (QS. Al Hasyr: 14).
Tentu saja persatuan secara fisik itu perlu dan penting. Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفًّا كَأَنَّهُمْ بُنْيَانٌ مَرْصُوصٌ
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh” (QS. Ash Shaf: 4)
Namun persatuan yang Islami adalah persatuan yang di dalamnya ada sikap saling menasehati, karena Islam adalah agama nasehat dan mengajarkan untuk mengingkari kemungkaran. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
ن رأى مِنكُم مُنكرًا فليغيِّرهُ بيدِهِ ، فإن لَم يَستَطِع فبِلسانِهِ ، فإن لم يستَطِعْ فبقَلبِهِ . وذلِكَ أضعَفُ الإيمانِ
Barangsiapa yang melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lisannya, jika tidak mampu maka dengan hatinya dan itulah selemah-lemahnya iman” (HR. Muslim 49)
Andai berbagai keyakinan batil dan penyimpangan syariat ditengah umat kita toleransi, tidak diingkari, tidak diperbaiki, demi persatuan secara fisik, maka mau kita kemanakan hadits Nabi yang mulia ini?
Sesama muslim adalah auliya bagi muslim yang lain. Namun renungkanlah firman Allah Ta’ala berfirman:
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi wali bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar” (Qs. At Taubah: 71)
Auliya dalam bentuk jamak dari wali (ولي) yaitu orang yang lebih dicenderungi untuk diberikan pertolongan, rasa sayang dan dukungan (Aysar At Tafasir, 305). Lihatlah dalam ayat ini, sesama muslim adalah auliya, namun mereka juga saling menyuruh pada yang ma’ruf dan mencegah pada yang munkar.

Mengikuti Ijma Dan Taat Penguasa, Tuntutan Persatuan Kaum Muslimin

Persatuan yang diajarkan Islam adalah bersatu dalam Al Jama’ah, yaitu bersatunya umat Islam dalam kebenaran. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
عليكم بالجماعة ، وإياكم والفرقة ، فإن الشيطان مع الواحد وهو من الاثنين أبعد .من أراد بحبوحة الجنة فليلزم الجماعة .ن سرته حسنته وساءته سيئته فذلكم المؤمن
Berpeganglah pada Al Jama’ah dan tinggalkan kekelompokan. Karena setan itu bersama orang yang bersendirian dan setan akan berada lebih jauh jika orang tersebut berdua. Barangsiapa yang menginginkan bagian tengah surga, maka berpeganglah pada Al Jama’ah. Barangsiapa merasa senang bisa melakukan amal kebajikan dan bersusah hati manakala berbuat maksiat maka itulah seorang mu’min” (HR. Tirmidzi no.2165, ia berkata: “Hasan shahih gharib dengan sanad ini”)
Al Jama’ah bukanlah nama sekte, nama ormas, nama partai atau madzhab tertentu. Sahabat Nabi, Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu’anhu, menafsirkan istilah Al Jama’ah:
الجماعة ما وافق الحق وإن كنت وحدك
“Al Jama’ah adalah siapa saja yang sesuai dengan kebenaran walaupun engkau sendirian” (Dinukil dari Ighatsatul Lahfan Min Mashayid Asy Syaithan, 1/70)
Dan salah satu makna dan ciri dari Al Jama’ah adalah orang-orang yang mengikuti ijma’ dan bersatu dibawah penguasa kaum muslimin yang sah. Dengan kata lain, mengikuti ijma’ dan taat pada penguasa adalah tuntutan untuk mewujudkan persatuan yang benar. Ini dijelaskan oleh Imam Asy Syathibi rahimahullah: “Para ulama berbeda pendapat mengenai makna Al Jama’ah yang ada dalam hadits-hadits dalam lima pendapat:
  1. As sawadul a’zham dari umat Islam. Termasuk dalam makna ini para imam mujtahid, para ulama, serta ahli syariah yang mengamalkan ilmunya. Adapun selain mereka juga dimasukkan dalam makna ini karena diasumsikan hanya mengikuti orang-orang tadi”
  2. Para imam mujtahid. Dalam makna ini, tidak termasuk orang-orang yang bukan imam mujtahid karena mereka hakikatnya adalah ahli taqlid. Maka barangsiapa yang beramal dengan keluar dari pendapat para imam mujtahid, lalu mati, maka matinya sebagai bangkai jahiliyah. Dalam makna ini tidak termasuk juga seorang pun dari ahlul bid’ah (artinya, adanya pendapat yang beda dari ahli bidah tidaklah mempengaruhi keabsahan ijma, ed).
  3. Para sahabat Nabi saja. Makna ini sesuai dengan riwayat dari Nabi yang menafsirkan makna Al Jama’ah, yaitu:
    ما أنا عليه وأصحابي
    Siapa saja yang berpegang padaku dan para sahabatku
  4. Umat Islam jika bersepakat dalam sebuah perkara (baca: ijma’). Maka wajib bagi orang-orang yang menyimpang untuk mengikuti mereka. Asy Syathibi lalu memberi catatan: “Makna ini sebenarnya kembali pada makna kedua (para imam mujtahid), dan berkonsekuensi sama seperti konsekuensi dari makna kedua. Atau kembali pada makna pertama, dan inilah yang lebih nampak. Dan secara makna pun, sama seperti makna pertama. Karena sudah pasti butuh peran para imam mujtahid di antara mereka barulah bisa terwujud umat tidak akan bersatu dalam kesesatan, bahkan merekalah golongan yang selamat”
  5. Pendapat yang dipilih Imam Ath Thabari, yaitu bahwa Al Jama’ah adalah jama’ah kaum muslimin yang berkumpul di bawah pemerintahan. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan ummat untuk berpegang pada pemerintahnya dan melarang memecah belah apa yang telah dipersatukan oleh umat sebelumnya.
Dengan demikian, jika memang tulus ikhlas ingin mewujudkan persatuan kaum muslimin dan menjaga keutuhan kaum muslimin dalam masalah penentuan awal dan akhir Ramadhan, hendaknya kaum muslimin semuanya tasliim (berlapang dada) untuk mengikuti ijma’ ulama dalam masalah ini.
Selain itu, hendaknya kaum muslimin mendengar dan taat kepada pemerintah kaum Muslimin yang sah selama dalam perkara yang ma’ruf. Dan alhamdulillah pemerintah kita dalam hal ini sejalan dengan ijma’ ulama. Dan para ulama juga menjelaskan bahwa penentuan awal dan akhir Ramadhan adalah urusan penguasa, keputusannya di tangan penguasa. Berdasarkan hadits:
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
Hari puasa adalah hari ketika orang-orang berpuasa, Idul Fitri adalah hari ketika orang-orang berbuka, dan Idul Adha adalah hari ketika orang-orang menyembelih” (HR. Tirmidzi 632, Ad Daruquthni 385)
As Sindi menjelaskan, “Nampak dari hadits ini bahwa urusan waktu puasa, lebaran dan idul adha, bukanlah urusan masing-masing individu, dan tidak boleh bersendiri dalam hal ini. Namun ini adalah urusan imam (pemerintah) dan al jama’ah. Oleh karena itu wajib bagi setiap orang untuk tunduk kepada imam dan al jama’ah dalam urusan ini. Dari hadits ini juga, jika seseorang melihat hilal namun imam menolak persaksiannya, maka hendaknya orang itu tidak menetapkan sesuatu bagi dirinya sendiri, melainkan ia hendaknya mengikuti al jama’ah” (Hasyiah As Sindi, 1/509). Silakan simak artikel ini untuk pemaparan lebih lengkapnya.

Perselisihan bukan alasan untuk berbuat zhalim

‘Ala kulli haal, apapun perselisihan yang terjadi di antara kaum muslimin, tidak dibenarkan menjadikannya alasan untuk berbuat zhalim. Misalnya dalam masalah penentuan awal dan akhir Ramadhan, walaupun telah jelas kesalahan sebagian orang yang menggunakan metode hisab falaki, tetap tidak dibenarkan berbuat kezhaliman kepada orang-orang yang berpendapat demikian. Ataupun sebaliknya, orang-orang yang menggunakan metode hisab falaki pun tidak boleh berbuat zhalim kepada selainnya. Zhalim itu haram hukumnya. Allah Ta’ala berfirman:
وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ
Allah tidak mencintai orang-orang yang zhalim” (QS. Al Imran: 57)
Allah Ta’ala juga berfirman dalam sebuah hadits qudsi:
يا عبادي ! إني حرَّمتُ الظلمَ على نفسي وجعلتُه بينكم محرَّمًا . فلا تظَّالموا
Wahai hamba-Ku, Aku haramkan bagiku kezhaliman, dan juga telah Aku jadikan itu haram bagi kalian. Maka janganlah kalian saling berbuat zhalim” (HR. Muslim 2577).
Zhalim artinya menempatkan sesuai bukan pada tempatnya, berbuat sesuatu tanpa hak. Yang termasuk perbuatan zhalim terkait masalah ini diantaranya:
  • Berdebat kusir yang didasari fanatik golongan tanpa dasar ilmu agama
  • Saling mencela dan mencaci
  • Saling memboikot, tidak mau saling bicara, tidak mau saling bermuamalah
  • Saling bertengkar dan melukai
  • Atau bahkan saling mengkafirkan
Perselisihan, sebagaimana sudah dijelaskan, itu banyak dan banyak pula jenisnya. Ada perselisihan yang wajib ditoleransi masing-masing pendapatnya, ada pula perselisihan yang tidak bisa ditoleransi karena kebenarannya sudah jelas. Perselisihan pun bertingkat-tingkat level kesalahan dan tingkat pengingkarannya. Dan dalam semuanya itu tidak diperkenankan berbuat kezhaliman. Orang yang mempelajari ilmu agama dengan mendalam akan mengetahui bagaimana menyikapi suatu perselisihan dengan sikap yang benar dan porsi yang pas.
Hendaknya dalam perselisihan kita saling menasehati dengan mengedepankan kasih sayang, saling menginginkan kebaikan pada diri orang yang dinasehati. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Rabbmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. An-Nahl:125)
Jangankan dalam perselisihan masalah hilal-hisab yang notabene merupakan syubhat dikalangan orang pada umumnya, bahkan terhadap perkara-pekara yang jelas kebenaran pun semisal menasehati orang-orang yang meninggalkan shalat, tidak mau memakai jilbab, sering melakukan kesyirikan, sering melakukan kebid’ahan kita tetap mengedepankan cara-cara yang santun, penuh kasih sayang, dan menginginkan kebaikan atas mereka. Bukan cara-cara kasar, sembrono, yang menimbulkan pertikaian atau kezhaliman.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
من أحب لله ، وأبغض لله ، وأعطى لله ، ومنع لله ، فقد استكمل الإيمان
Orang yang yang mencintai sesuatu karena Allah, membenci sesuatu karena Allah, memberi karena Allah, melarang sesuatu karena Allah, imannya telah sempurna” (HR. Abu Daud no. 4681, di-shahih-kan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud)
Boleh jadi dalam satu sisi kita membenci saudara kita karena satu hal, namun di sisi lain banyak hal-hal lain yang menjadi alasan kita untuk mencintainya. Boleh jadi kita membenci saudara kita karena penyimpangan dan kemungkaran yang ia lakukan, namun kita masih memiliki porsi cinta terhadapnya karena ia beriman kepada Allah, karena ibadahnya kepada Allah, karena ketaatannya dalam hal lain kepada Allah.
Semoga apa yang sedikit ini bermanfaat, semoga kaum muslimin tetap bersatu padu dalam kebenaran, saling mendukung dan menjunjung satu sama lain. Saling menopang dan bertumpu bagaikan satu jasad.
مَثَلُ المُؤْمِنِيْنَ فِي تَوَادِّهِمْ وَ تَعَاطُفِهِمْ كَمَثَلِ الجَسَدِ إِذَا اشْتَكىَ مِنْهُ عُضْوٌ تًَدَاعَى سَائِرُ الجَسَدِ.
Kaum mukminin itu dalam masalah cinta dan kasih sayang mereka bagaikan satu jasad, apabila salah satu anggota badan merasa sakit, maka seluruh badan merasakannya“ (HR Muslim 2586).
Wabillahit Taufiiq

Penulis: Yulian Purnama

Baca Selengkapnya - Menyikapi Perselisihan Dalam Penentuan Awal Dan Akhir Ramadhan

Kamis, 25 Oktober 2012

Khutbah Idul Adha 1433 H ( KURBANKAN ISMAIL'MU)


بسم الله الرحمن الرحيم

Khutbah Idul Adha 1433 H/2012 M
KURBANKAN ‘ISMAIL’MU
(Ketaatan dan Pengorbanan untuk Tegaknya Syariah dan Khilafah)

اللهُ أكْبَرُ × 9
اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا وَسُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً وَأَصِيلاً،
 لاَ إِلَهَ إِلاًّ اللَّهُ وَلاَ نَعْبُدُ إِلاَّ إِيَّاهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَهَزَمَ الأَحْزَابَ وَحْدَهُ، لاَ إِلَهَ إِلاًّ اللَّهُ اللهُ أكْبَرُ، الله أكبر وَللهِ الْحَمْدُ.
اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِيْ جَعَلَ الْيَوْمَ عِيْداً لِلْمُسْلِمِيْنَ، وَوَحَّدَنَا بِعِيْدِهِ كَأُمَّةٍ وَاحِدَةٍ، مِنْ غَيْرِ الأُمَم، وَنَشْكُرُهُ عَلَى كَمَالِ إِحْسَانِهِ وَهُوَ ذُو الْجَلاَلِ وَاْلإِكْراَمِ.
أَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ أَنْتَ وَحْدَكَ لاَشَرِيْكَ لَكَ، اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَن تَشَاء وَتَنزِعُ الْمُلْكَ مِمَّن تَشَاء وَتُعِزُّ مَن تَشَاء وَتُذِلُّ مَن تَشَاء بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَىَ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُكَ وَرَسُوْلُكَ.
الَلَّهُمَّ صَلِّ وَاُسَلِّمُ عَلَى حَبِيْبِناَ المُصْطَفَى، الَّذِّي بَلَّغَ الرِّسَالَةْ، وَأَدَّى الأَمَانَةْ، وَنَصَحَ الأُمَّةْ، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ دَعاَ اِلَى اللهِ بِدَعْوَتِهِ، وَجاَهَدَ فِيْ اللهِ حَقَّ جِهاَدِهِ.
اَمَّا بَعْدُ: عِبَادَ اللهِ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ المُتَّقُوْنَ!

Ma’ashiral muslimin rahimakumullah,
Alhamdulillâhi Rabbi al-âlamîn, segala puji marilah kita panjatkan ke hadhirat Allah Swt, Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada sayyidu al-anbiyâ wa al-mursalîn, Rasulullah Muhammad Saw, beserta keluarga, para shahabatnya, dan seluruh umatnya yang senantiasa menaati risalahnya, serta berjuang tak kenal lelah untuk menerapkan dan menyebarluaskannya ke seluruh pelosok dunia hingga akhir zaman.
Baru saja di tempat ini kita bersama-sama menggemakan pujian atas kebesaran Allah SWT sehingga langit di sekitar kita bergemuruh dengan suara takbir, tahlil dan tahmid. Bersama kita, lebih dari 1,5 milyar kaum muslimin di seluruh dunia melakukan hal yang sama, bergerak, bertasbih, bersujud dan bertakbir bersama. Sementara itu lebih dari 2 juta saudara kita kaum muslimin lainnya saat ini berada di tanah suci. Di sana mereka tengah menunaikan ibadah haji.

Ma’ashiral muslimin hafizhakumullah,
Secara fitri, manusia dikaruniai Allah Swt gharizah an-nau’. Diantara perwujudannya berupa kecintaan pada ibu, bapak, anak dan istri. Dengan naluri itu pula, secara fitri manusia akan terdorong untuk melakukan mencari pasangan dan melahirkan keturunan. Itu pula yang terjadi pada diri Nabiyullah Ibrahim as. Sebagai manusia, beliau juga menginginkan kehadiran seorang anak. Meski usianya kian senja, Nabi Ibrahim as terus berdoa memohon diberikan anak yang shalih. Allah Swt pun berkenan mengabulkan doa beliau.
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ (100) فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلاَمٍ حَلِيمٍ (101)
‘Ya Rabb, anugrahkanlah kepadaku [seorang anak] yang termasuk orang shaleh’. Maka Kami beri kabar dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. (TQS ash-Shaffat [37]: 100-101)

Bagi Ibrahim as, Ismail adalah buah hati, harapan dan kecintaannya, yang telah sangat lama didambakan. Ismail bak satu-satunya pohon hijau yang tumbuh di kebun gersang milik seorang petani tua. Ismail mendatangkan kebahagiaan dalam hidup Ibrahim. Ismail pun merasakan penuhnya kasih sayang dan cinta ayahnya. Akan tetapi, di tengah rasa bahagia itu, turunlah perintah Allah kepada Ibrahim untuk menyembelih putera kesayangannya itu. Allah Swt berfirman:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَابُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى
“Maka tatkala anak itu telah sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: hai anakku, sesungguhnya Aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu” (TQS ash-Shaffat [37]: 102)
اللهُ أكْبَرُ، اللهُ أكْبَرُ، اللهُ أكْبَرُ
لاَ إِلَهَ إِلاًّ اللَّهُ اللهُ أكْبَرُ، الله أكبر وَللهِ الْحَمْدُ
Hadirin jamaah sekalian yang dirahmati Allah,
Menghadapi perintah itu, Ibrahim menghadapi dua pilihan: mengikuti perasaan hatinya dengan ”menyelamatkan” Ismail atau menaati perintah Allah dengan ”mengorbankan” putra kesayangannya. Buat Ibrahim, di hadapannya terbentang dua pilihan, mengedepankan kecintaan yang tinggi (al-mahabbatul ulya), yakni kecintaan kepada Allah atau lebih mengutamakan kecintaan yang rendah (al-mahabbatul adna), yakni kecintaan kepada anak, harta, dan dunia. Tetap menyadari anak yang dicintainya itu sebagai karunia Allah atau malah menjadikannya sebagai أَنْدَداً , pesaing–pesaing Allah yang dicintai sama atau bahkan melebihi kecintaan kepada Allah.
Sekarang, bayangkan ada sesuatu yang kita cintai, yang deminya kita rela mengorbankan apa saja. Itulah “Ismail”-mu. “Ismail”-mu adalah setiap sesuatu yang dapat melemahkan imanmu dan dapat menghalangi dirimu menuju taat kepada Allah. Setiap sesuatu yang dapat membuat dirimu tidak mendengarkan perintah Allah dan menyatakan kebenaran. “Ismail”-mu adalah setiap sesuatu menghalangimu untuk melaksanakan kewajiban-kewajibanmu. Setiap sesuatu yang menyebabkan engkau mengajukan alasan-alasan untuk menghindar dari perintah Allah SWT.
Di dalam hidup ini kita harus mengidentifikasi dan menemukan apa atau siapakah “Ismail” kita itu. Mungkin sekali “Ismail”-mu adalah seorang manusia; bisa anak, istri, suami, orang tua atau siapa saja. Bisa pula harta benda, pangkat, jabatan atau kedudukan. Bisa juga “Ismail”-mu berupa ideologi dan pandangan hidup sekuler, seperti kapitalisme dan sosialisme atau komunisme, dan ideologi lain yang tidak bersumber dari nilai-nilai tauhid.
Ismail”-nya Ibrahim as adalah Ismail as, anaknya sendiri, buah hatinya. Dan saat Ibrahim dihadapkan pilihan sulit itu, setan dengan cepat memanfaatkan kesempatan. Dalam rupa seorang lelaki tua –seperti riwayat Ibn Katsir dalam Tafsirnya dari Abu Hurairah ra- setan berusaha menggoda Nabi Ibrahim, Siti Hajar, dan Ismail agar mengabaikan perintah Allah itu. Ibrahim yang tahu bahwa lelaki tua itu adalah setan, segera mengusirnya.
Ketegasan Ibrahim mengusir setan yang terus menggoda itulah spirit yang semestinya diresapi oleh para jamaah haji saat melempar jumrah di Mina yang melambangkan kebencian dan perlawanan terhadap pengaruh setan. Di Mina jutaan jamaah haji telah menegaskan pendirian: menolak dominasi setan.
Sayangnya perlawanan terhadap setan itu seolah hanya terjadi di Mina saja. Buktinya adalah fakta di Indonesia, negara yang paling banyak jumlah jamaah hajinya, hingga kini tetap tegak ideologi dan sistem sekuler kapitalisme, paling banyak korupsi dan bentuk kejahatan lain, yang itu sebagiannya dilakukan oleh mereka yang sudah pernah berhaji. Sepulang dari haji bukan hanya tidak meneruskan perlawanan terhadap setan, tapi telah menjadi kawan atau malah hamba setan.
Perintah amat berat itu pun disambut dengan Ismail as dengan penuh kesabaran. Dia pun mengukuhkan keteguhan jiwa ayahandanya dengan mengatakan:
قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
Wahai ayahanda, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insya’a Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” (TQS ash-Shaffat [37]: 102)

Dan tepat ketika pisau tajam itu menyentuh kulit leher Ismail, Allah dengan kekuasaan-Nya menggantinya dengan seekor domba.
فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ (103) وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ (104) قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (105) إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلاَءُ الْمُبِينُ (106) وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ
”Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipisnya, (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggil dia, hai Ibrahim sesungguhnya engkau telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar” (TQS ash- Shaffat [37]: 103 – 107)

اللهُ أكْبَرُ، اللهُ أكْبَرُ، اللهُ أكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاًّ اللَّهُ اللهُ أكْبَرُ، الله أكبر وَللهِ الْحَمْدُ
Ma’asiral muslimin rahimakumullah,
Inilah teladan yang diberikan oleh Ibrahim yang membawa semangat tauhid. Inilah teladan seorang anak manusia yang menyadari posisinya sebagai makhluq di hadapan Sang Khaliq, sebagai hamba dihadapan al-Ma’bûd, Allah SWT. Inilah teladan dari manusia yang dengan semangat tauhid berhasil merealisasi kecintaan yang tinggi (al-mahabbatul ulya) yaitu kecintaan kepada Allah, dan saat yang sama menghindarkan diri dari kecintaan yang rendah (al-mahabbatul adna) terhadap setiap sesuatu yang bisa menghalanginya untuk taat kepada Allah SWT. Teladan seorang manusia yang berhasil membuktikan keteguhan dalam menjalankan perintah Allah dan ketegasan menepis segala bujuk rayu setan yang terkutuk.
اللهُ أكْبَرُ، اللهُ أكْبَرُ، اللهُ أكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاًّ اللَّه،ُ اللهُ أكْبَرُ، الله أكبر وَللهِ الْحَمْدُ
Ma’asiral muslimin hafizhakumullah
Semangat tauhid yang telah ditunjukkan kepada kita oleh Nabiyullah Ibrahim as itu, sangatlah relevan dan amat kita perlukan dalam menjalani kehidupan yang penuh tantangan saat ini. Kehidupan modern yang serba bendawi, amat mudah membawa kita terjerumus kepada pragmatisme sekuler yang menjadikan kenikmatan jasmani dan semua yang serba material menjadi fokus dari capaian hidup tanpa lagi mengindahkan tolok ukur halal dan haram.
Semangat tauhid itu sangat kita perlukan supaya kita berhasil mewujudkan kecintaan hakiki yang tinggi yakni kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya yang mewujud dalam sikap tunduk, patuh dan terikat kepada ketentuan syariah-Nya. Ketundukan, kepatuhan dan keterikatan kita kepada syariah Allah itu dipastikan akan membawa berkah bagi semua, berbuah cinta Allah kepada kita dan ampunan dari-Nya atas dosa kita. Allah berfirman:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah, jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (TQS Ali-Imran [3]: 31).

Maka, di akhir khutbah ini, Khatib ingin menekankan beberapa hal pokok, yakni:
1. Kisah hidup Nabi Ibrahim, Nabi Ismail dan seluruh prosesi Haji beserta perayaan Idul Adha sesungguhnya telah memberikan kepada kita pelajaran yang sangat berharga tentang cinta, ketaatan dan pengorbanan serta sikap yang harus diambil oleh seorang muslim dalam menjalani hidup ini sesuai prinsip-prinsip tauhid, yakni keimanan yang penuh kepada Allah SWT.
Dengan tauhid itu, marilah kita tetap teguh memegang ketentuan halal dan haram, dan di saat yang sama tidak mudah terdorong melakukan pelanggaran terhadap syariah-Nya. Bila prinsip ini dilanggar, mungkin saja berbagai macam keinginan dalam hidup kita itu bisa diraih, tapi pasti akan membawa keburukan, dan pasti juga akan menjauhkan kita dari cinta dan ridha Allah SWT.
2. Ketaatan pada Allah SWT yang diwujudkan dengan melaksanakan syariah-Nya secara kaffah dalam kehidupan pribadi, dan juga dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dengan cara itulah akan terbentuk masyarakat tauhid dan negara yang berbeda dengan masyarakat dan negara jahiliah. Negara itu adalah Daulah Khilafah Islamiyyah yang diwajibkan Allah Swt untuk ditegakkan. Dan ingatlah, bahwa hanya dalam Daulah Khilafah sajalah kerahmatan Islam akan terwujud dan keridhaan Allah akan didapatkan.
3. Salah satu buah dari tauhid adalah ukhuwah atau persaudaraan Islam, yakni persaudaraan universal atas dasar keimanan kepada Allah SWT, sebagaimana tampak dalam berkumpulnya jamaah haji dari seluruh dunia di Tanah Suci tanpa membedakan ras, suku bangsa, bahasa dan pangkat derajat. Semua hadir di sana atas dasar, motif, dan dorongan yang sama, juga melakukan manasik haji dengan cara yang sama. Tapi sayang, persaudaraan universal itu berhenti hanya sebatas di Tanah Suci. Usai haji, kembali umat Islam terpecah belah ke dalam lebih dari 50 negara. Persaudaran itu tidak tampak lagi. Umat Islam yang berjumlah lebih dari 1,5 miliar itu tetap lemah, tidak memiliki kekuatan sehingga mudah dirusak oleh musuh-musuh Islam. Di sinilah pentingnya perjuangan untuk tegaknya kembali al-Khilafah al-Islamiyah harus terus digelorakan, karena hanya khilafah sajalah yang mampu menyatukan kembali umat Islam sebagaimana pernah terjadi di masa lalu.
4. Perjuangan bagi tegaknya kembali al-Khilafah al-Islamiyah yang akan menerapkan syariah secara kaffah dan mewujudkan kembali persatuan umat jelas memerlukan pengorbanan karena tidak ada ketaatan tanpa pengorbanan. Dengan pengorbanan itu, insya Allah perjuangan yang memang sekilas tampak sulit itu akan menemukan hasilnya tidak lama lagi di masa mendatang.
Semoga kita termasuk orang yang diberikan kekuatan untuk istiqamah memperjuangkan tegaknya syariah dan khilafah dalam kehidupan.
Hasbunal-Lâh wa ni’mal wakil nikmal maula wa ni’kman nashiir, laa haula wala quuwata illa billah. Aquulu qauli hadza wa astaghfirullahal azhiim lii walakum!
الخطبة الثانية:

اللهُ أكْبَرُ × 7
اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا وَسُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً وَأَصِيلاً، لاَ إِلَهَ إِلاًّ اللَّهُ وَلاَ نَعْبُدُ إِلاَّ إِيَّاهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَهَزَمَ الأَحْزَابَ وَحْدَهُ،
لاَ إِلَهَ إِلاًّ اللَّهُ اللهُ أكْبَرُ، الله أكبر وَللهِ الْحَمْدُ.
أَشْهَدُ ألاَّ إِلَهَ إِلاًّ الله وَحْدَه لاَشَرِيْكَ لَه وأَشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُه وَرَسُوْلُه لاَ نَبِيَ بَعْدَهُ. اللّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ فِي الْعَالَمِيْنَ إنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ:
اللّهُمَّ اغْفِرْ لَنَا وَلِوَالِدَيْنَا وَارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانَا صِغَارًا، أَللّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اَْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ
رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَاِنْ لَمْ تَغْفِرْلَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّا مِنَ الْخَاسِرِيْنَ، اَللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنَّا دُعَائَنَا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ وَتُبْ عَلَيْنَا اِنَّكَ اَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ.
رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا اِنْ نَّسِيْنَآ أَوْ اَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَآ اِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْلَنَا وَارْحَمْنَا اَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَاِفِرِيْنَ
اَللَّهُمَّ يَا مُنْـزِلَ الْكِتَابِ وَمُهْزِمَ اْلأَحْزَابِ اِهْزِمِ اْليَهُوْدَ وَاَعْوَانَهُمْ وَصَلِيْبِيِّيْنَ وَاَنْصَارَهُمْ وَرَأْسُمَالِيِّيْنَ وَاِخْوَانَهُمْ وَاِشْتِرَاكِيِّيْنَ وَشُيُوْعِيِّيْنَ وَاَشْيَاعَهُمْ

اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ دَوْلَةَ الْخِلاَفَةِ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ تُعِزُّ بِهَا اْلإِسْلاَمَ وَاَهْلَهُ وَتُذِلُّ بِهَا الْكُفْرَ وَاَهْلَهُ، وَ اجْعَلْناَ مِنَ الْعَامِلِيْنَ الْمُخْلِصِيْنَ بِإِقَامَتِهَا بِإِذْنِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ، وَسُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
اللهُ أَكْبَرْ اللهُ أَكْبَرْ اللهُ أَكْبَرْ وَللهِ الْحَمْدُ

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Silahkan download
RUMAH SEHAT HOLISTIC
JL. EMPANG LK. IV BITUNG TIMUR KOTA BITUNG
ZAKIR HUBULO,S.Sos,M.Pd
HP : 085240976887
BB PIN: 28140973
Baca Selengkapnya - Khutbah Idul Adha 1433 H ( KURBANKAN ISMAIL'MU)